Judul: Belajar Mencinta, Belajar Menjadi Manusia
SIAPA. CINTA?
Cinta bukan konsep asing dalam hidupku. Ia hadir sejak dini—bukan hanya dalam bentuk asmara, tetapi sebagai sesuatu yang kulihat dalam keseharian: dari orang tuaku, kakakku, teman-temanku, bahkan diriku sendiri yang pernah jatuh cinta begitu dalam, lalu tenggelam di dalamnya. Tapi semakin bertambah umur, semakin banyak aku melihat: cinta tidak pernah sesederhana kata “sayang.”
Sebagai manusia yang tumbuh dalam lingkungan di mana cinta seringkali hadir dalam bentuk yang rumit dan membingungkan, aku terbiasa menyaksikan bagaimana kasih sayang bisa bercampur dengan pengorbanan, penderitaan, dan ketakutan. Orang tuaku, misalnya. Hubungan mereka tidak sempurna, bahkan bisa dibilang retak. Tapi di balik keretakan itu, ada satu hal yang melekat di ingatanku—ayahku merawat ibuku yang lumpuh total tanpa keluhan. Ia membersihkan, memandikan, mengurus segalanya dalam diam. “Aku sudah berjanji di altar,” katanya suatu hari. “Dalam sehat dan sakit, sampai maut memisahkan.”
Dari situ, aku mengerti satu sisi dari cinta: komitmen. Bukan yang manis-manis saja, tapi yang tetap bertahan bahkan saat semua yang indah mengelupas. Namun aku juga melihat sisi gelapnya—ketika cinta dijadikan alasan untuk tetap bertahan dalam hubungan yang menyakiti. Ibuku tidak mau bercerai, bukan karena tidak bisa, tapi karena tidak ingin menambah beban psikologis pada anak-anaknya. Cinta, dalam hal ini, menjadi sesuatu yang tak lagi berbicara tentang kebahagiaan pribadi, melainkan pengorbanan tanpa suara.
Teman-temanku pun menunjukkan rupa cinta yang berbeda. Ada yang begitu mencintai pasangannya hingga kehilangan diri sendiri. Mereka menjadikan pasangan sebagai pusat semesta, mengorbankan waktu, harga diri, bahkan jati diri. Mereka berubah bukan karena proses tumbuh bersama, tapi karena tuntutan tak kasatmata dari orang yang mereka cintai. Ketika hubungan itu mulai menyiksa, mereka bingung keluar. Mereka lupa bahwa sebelum jadi kekasih seseorang, mereka adalah manusia dengan hidup, impian, dan kehormatan.
Aku pun bukan pengecualian. Kisah cintaku dimulai sejak SMP—terlihat lucu dan kekanak-kanakan, tapi ternyata menghabiskan seperempat hidupku. Aku jatuh cinta pada sahabatku sendiri, dan hubungan itu terus berlanjut hingga aku dewasa. Kami tumbuh bersama, dengan semua pasang surut, dengan semua kebiasaan dan pelarian, termasuk pelarian seksual. Kami putus, balikan, putus lagi. Aku pernah memilih dia daripada mimpi menjadi frater. Pernah menjauh karena ibuku meninggal dan dunia terasa runtuh. Pernah kembali lagi hanya karena tidak mampu menerima kesepian. Aku menyakiti dan tersakiti. Tapi di antara semua itu, yang paling menyakitkan adalah ketika akhirnya aku sadar: *Aku mencintai bukan karena ingin memberi, tapi karena takut kehilangan.* Dan itu bukan cinta yang sehat.
Hubungan kami perlahan menjadi kabur. Kami masih bicara, masih menyentuh, tapi tidak saling menyentuh hati. Sampai akhirnya satu pesan datang: “Aku kangen.” Dan aku terdiam. Aku tidak bisa membalas. Bukan karena tidak rindu, tapi karena aku sadar: aku tidak layak menerima kerinduannya lagi. Dari situ, semuanya berakhir. Tanpa perpisahan dramatis. Hanya diam, dan selesai.
Kini, aku mencoba mengerti ulang: apa itu cinta sehat?
Aku belum punya jawabannya yang pasti. Tapi aku tahu cinta sehat bukan cinta yang membuatmu kehilangan martabat. Cinta sehat bukan cinta yang mengajarkanmu melupakan teman, mimpi, atau harga diri. Cinta sehat tidak membuatmu berpura-pura menjadi orang lain demi memenuhi fantasi pasangan. Cinta sehat tidak menyembunyikanmu dalam ketakutan—terutama ketakutan akan kehilangan. Ia tidak menyakitimu lalu menyuruhmu memaafkan atas nama cinta.
Cinta sehat memberimu ruang untuk tetap menjadi diri sendiri. Cinta sehat membuatmu bertumbuh, bukan hanya bertahan. Cinta sehat adalah keberanian untuk jujur—bahkan ketika kejujuran itu berarti harus berpisah. Cinta sehat adalah pilihan sadar untuk mencintai seseorang tanpa melupakan mencintai diri sendiri.
Mungkin cinta sehat memang tidak selalu terlihat megah seperti di film. Mungkin ia hadir dalam hal-hal kecil: dalam komunikasi yang jujur, dalam batas yang dijaga, dalam keberanian untuk berkata tidak, dan dalam kesediaan untuk terus belajar mencintai, bahkan setelah gagal.
Dan sekarang, aku tahu satu hal: cinta yang baik akan membuatku menjadi manusia yang lebih utuh—bukan yang lebih hilang.
Kini, saat aku menoleh ke belakang, aku sadar: cinta bukan tentang siapa yang paling lama bertahan, bukan pula tentang siapa yang paling banyak memberi atau berkorban. Cinta yang sehat, ternyata, bukan hal yang bisa kupelajari hanya dari buku atau cerita orang lain. Ia adalah sesuatu yang harus kualami—pahitnya, manisnya, luka-lukanya, bahkan kehancurannya.
Aku tumbuh di antara kisah-kisah cinta yang setengah matang—orang tua yang bertahan tapi penuh luka, teman-teman yang kehilangan jati dirinya demi romansa, dan aku sendiri yang pernah mencinta tanpa tahu siapa aku dan ke mana aku hendak membawa perasaan itu. Di tengah semua itu, aku mulai memahami bahwa cinta yang sehat bukanlah cinta yang sempurna. Ia justru cinta yang sadar—yang tahu kapan harus bertahan dan kapan harus melepas, yang tidak membuatmu kehilangan dirimu sendiri, dan yang membiarkanmu menjadi manusia seutuhnya, bukan bayangan dari ekspektasi orang lain.
Mungkin cinta yang sehat itu bukan sesuatu yang langsung hadir, tapi sesuatu yang kita bentuk—perlahan, sabar, dan jujur. Cinta yang sehat akan lahir dari keinginan untuk mengerti, bukan hanya dimengerti. Dari keberanian untuk membuka luka, bukan hanya menutupi dengan romansa semu.
Dan aku, dengan segala luka dan kebodohan masa lalu, kini sedang belajar. Belajar mencintai dengan tidak memenjarakan. Belajar memiliki tanpa menggenggam terlalu erat. Belajar menjadi manusia yang mencinta, tanpa lupa bagaimana mencintai dirinya sendiri.
Karena pada akhirnya, cinta yang paling indah adalah cinta yang tidak membuatmu kehilangan dirimu.
Sleman, 15 April 2025
~BP9~
Komentar
Posting Komentar